Culture

Dominasi Kebudayaan Jawa dalam Penerapan Politik Indonesia


A. Pendahuluan

Menurut Yahya Muhaimin, masyarakat Indonesia yang secara sosio-historis merupakan masyarakat plural, sebenarnya mempunyai pola-pola budaya politik yang elemen-elemennya bersifat dualistis. Dualisme tersebut berkaitan dengan tiga hal, yaitu:

  1. Dualisme antara kebudayaan yang mengutamakan keharmonisan dengan kebudayaan yang mengutamakan kedinamisan (konfliktural). Dualisme ini bisa kita lihat dalam interaksi antara budaya yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Jawa dengan kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan luar Jawa, terutama Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi.
  2. Dualisme antara budaya dan tradisi yang mengutamakan keleluasaan dengan yang mengutamakan keterbatasan. Fenomena ini merupakan tendensi kemanunggalan militer-sipil dalam proses sosial politik.
  3. Dualisme akibat masuknya nilai-nilai barat ke dalam masyarakat Indonesia. Hakikat nilai Barat adalah pandangan hidup yang menempatkan indiidualisme dalam kedudukan yang vital (Muhaimin, Yahya; 52-53).

Pada makalah ini, penulis memfokuskan bahasan pada titik yang pertama yaitu Dualisme Budaya Jawa dan Non Jawa dengan penekanan pada bentuk-bentuk dominasi Budaya Jawa dalam budaya dan pelaksanaan politik di Indonesia.

B. Tesis Dominasi Budaya Jawa.

Pada bagian ini, penulis akan mengutip 3 pendapat ahli untuk memperkuat judul makalah ini, bahwa dominasi Jawa memang terjadi, sehingga penyataan penulis tidak berupa klaim atau suatu sikap antipati belaka. Nazaruddin Syamsuddin, seorang pakar politik dari FISIP Universitas Indonesia mengemukakan, dalam sejarah politik Indonesia tahun 1950-an tampak adanya dua pola perbenturan yang menonjol, yaitu:

1. Pola pertarungan antara sub budaya politik aristrokrasi Jawa dan kewiraswastaan Islam.
2. Pola perbenturan antara sub budaya politik yang berlindung di balik kepentingan Jawa dan luar Jawa.

Terkait dengan pola yang kedua, menurut Nazaruddin perbenturan antara kelompok-kelompok sub budaya politik Jawa dan Luar Jawa, baik dalam bentuk perlawanan bersenjata maupun tidak, dimensi-dimensi kepentingan politik dan ekonomi selalu hadir, baik secara bersamaan maupun sendiri-sendiri. Masalah otonomi daerah dan konsekuensi lain yang timbul dari dukungan yang kita berikan pada konsep sentralisasi dan desentralisasi pada umumnya mempunyai dimensi politik, meskipun ada kaitannya pula dengan dimensi ekonomi. Selain itu, persoalan pembagian kekuasaan atau pengaruh politik, baik di tingkat daerah maupun nasional, dan masalah keseimbangan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa, juga menjadi persoalan krusial (Syamsuddin, Nazaruddin; 42-44).

Pemikiran dan tingkah laku politik masyarakat Indonesia yang multietnis, sebenarnya bukan dipengaruhi oleh campuran nilai budaya berbagai suku bangsa yang banyak itu. Sebaliknya, yang benar-benar mempengaruhi hanya nilai beberapa suku bangsa tertentu. Diantara beberapa suku bangsa yang sangat berpengaruh, Jawa dengan cara berpikir dan pola hidupnya paling dominan. Dominasi ini disebabkan oleh jumlah masyarakat orang Jawa yang cendrung mendominasi kehidupan politik, dan keberadaan pusat pemerintahan yang kebetulan berada di Jawa. Oleh karena itu, selalu terdapat kecendrungan pada suku-suku Non Jawa untuk selalu mengadaptasi diri dengan nilai-nilai keJawaan atau menjadikan nilai Jawa sebagai basis persepsi politik mereka (Muhaimin, Yahya; 53-54).

Pendapat Yahya tentang dominasi Jawa diamini oleh Aristides Katoppo (Budayawan dari Minahasa Sulawesi Utara). “Budaya politik nasional, termasuk budaya berdemokrasi dan khususnya berkaitan dengan bangunan sistem kekuasaan, merupakan hasil akumulasi, agregasi dari budaya, dan sistem kekuasaan dari daerah-daerah (budaya lokal).namun, suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri adalah, bahwa dominasi budaya Jawa, terhadap pembentukan budaya politik nasional merupakan suatu keniscayaan. Karena bukan saja kekuasaan negeri ini dikendalikan dari Jawa, tapi struktur kekuasaan yang ada pun didominasi oleh orang Jawa, sebagai akibat dari dominannya etnis Jawa secara kuantitatif. Kondisi ini kemudian membuat kecendrungan etnis lain mengakomodir/menyesuaikan dengan tradisi/budaya Jawa, termasuk dalam berdemokrasi (mengelola kekuasaan). Akibat lanjutannya konsep demokrasi dan konsep kekuasaan nasional, sangat dipengaruhi oleh konsep kekuasaan Jawa. (Katoppo, Aristides; 2).

C. Budaya Politik Jawa

Yahya Muhaimin dalam tulisannya “Persoalan Budaya Politik Indonesia” mengutarakan tentang sikap-sikap masyarakat Jawa terkait dengan pelaksanaan politik di Indonesia. Adapun sikap-sikap itu antara lain:

1. Konsep “Halus”

Masyarakat Jawa cendrung untuk menghindarkan diri atau cendrung untuk tidak berada pada situasi konflik dengan pihak lain dan bersamaan dengan itu mereka juga cendrung selalu mudah tersinggung. Ciri-ciri ini berkaitan erat dengan konsep “halus” (alus) dalam konteks Jawa, yang secara unik bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata subtle, smooth, refined, sensitive, polite dan civilized. Konsep ini telah ditanamkan secara intensif dalam masyarakat Jawa sejak masa kanak-kanak. Ia bertujuan membentuk pola “tindak-tanduk yang wajar”, yang perwujudannya berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme serta ambisi. Menyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan kasar, rough, crude, vulgar, coarse, insensitive, impolite dan uncivilized (ora njawa). Nilai-nilai semacam ini menyebabkan orang Jawa kelihatan cendrung mempunyai konsepsi tentang “diri” yang dualistis.

Sebagai manifestasi tingkah laku yang halus, kita mengenal dua konsep yang bertautan, yaitu “malu” dan “segan”. Yang pertama berkonotasi dari perasaan discomfort sampai ke perasaan insulted atau rendah diri karena merasa berbuat salah. Yang kedua, “segan”, mirip dengan yang pertama tapi tanpa perasaan bersalah. Rasa segan (sungkan). Ini merupakan perpaduan antara malu dan rasa hormat kepada “atasan” atau pihak lain yang setara namun belum dikenalnya dengan baik.

Dari tema-tema kultural seperti di atas, kita dapat memahami mengapa orang Jawa mempunyai kesulitan untuk berlaku terus terang. Ini terjadi karena ia ingin selalu menyeimbangkan penampilan lahiriah dengan suasana batinnya sedemikian rupa sehingga dianggap tidak kasar dan tidak menganggap keterbukaan (keterusterangan) sebagai suatu yang terpuji kalau menyinggung pihak lain. Untuk itu seorang lawan bicara (counterpart) mesti memiliki sensitivitas tertentu karena ketiadaan sensitivitas akan sering mengakibatkan suatu hasil yang jauh dari yang dimaksudkan.

2. Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap

Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku yang halus dan sopan. Pola ini merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan pengendalian diri dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa tercapai dengan bersikap tenang di muka umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan diri. Ini berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi yang tenang, tidak banyak tingkah dan karenanya tidak akan selalu mulai melakukan manufer. Sebagai seorang yang berwibawa, dalam tingkat pertama, ia merasa tidak akan membutuhkan orang lain, sebaliknya orang lain yang selalu membutuhkannya. Karena itu, ia akan selalu merasa perlu membuat jarak dengan orang lain. Karakteristik inilah yang merupakan pola kultural bahwa tindakan dan tingkah laku akan mengakibatkan resiko tertentu yang tidak baik bila tindakan tersebut tidak didasarkan pada ketenangan jiwa atau didasarkan pada pamrih, ketidaktulusan dan penuh emosi.

Pola ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jawa menganggap orang yang berwibawa tidak perlu berarti orang yang aktif atau orang yang memecahkan berbagai persoalan rutin sehari-hari atau orang orang yang terlibat dalam pembuatan keputusan sehari-hari, bukan a man of action. Orang yang berwibawa adalah orang memiliki status tertentu sehingga merupakan objek loyalitas dan kepatuhan pada orang lain. Bertalian dengan pola ini, terdapat suatu kecendrungan pada orang Jawa agar kelihatan lebih penting menghargai simbol daripada subtansi dan menghargai status daripada fungsi seseorang.

Letak status yang sentral ini mendapatkan penjabaran yang cukup unik dalam kaitannya dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, harta merupakan sumber kekuasaan, sebab kekayaan merupakan sumber status, tapi sepanjang kekuasaan itu dirasakan juga oleh orang lain. Bila orang lain bisa menikmati kekayaan itu, maka kesetiaan dan ketaatan akan timbul secara otomatis dari mereka yang berada di sekelilingnya. Hal yang demikian berlaku pula pada sumber-sumber status yang lain, misalnya ilmu pengetahuan, jabatan dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam tradisi ini kekayaan tidak secara otomatis membawa kewibawaan atau kekuasaan, bila kekayaan itu tidak dibagi-bagikan, tidak dinikmati bersama-sama. Kekayaan seperti akan bersifat destruktif, sebab dilandasi pamrih.

3. Konsep Kebersamaan

Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara operasional tidak sekedar diaktualisasikan dalam aspek-aspek yang materialistis, tapi juga dalam aspek-aspek yang non materialistis atau yang menyangkut dimensi moral. Implikasi dimensi yang sangat luas ini ialah kaburnya hak dan kewajiban serta tanggung jawab seseorang. Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka dalam kerangka ini, orang lain akan cendrung berusaha menikmati hak tersebut. Pihak yang secara intrinsik mempunyai hak juga cendrung membiarkan orang lain ikut menikmatinya. Karena itu, kalau seseorang memiliki kewajiban atau tanggung jawab, maka orang tersebut cendrung ingin membagi kewajiban itu pada orang lain. Dengan demikian, takkala suatu pihak dituntut untuk mempertanggungjawabkan kewajibannya, maka secara tidak begitu sadar ia seringkali bersikap agar pihak lain juga bersama-sama memikul tanggung jawab itu. Bahkan seluruh anggota masyarakat diinginkan agar sama-sama mengemban tanggung jawab. Implikasi selanjutnya ialah adanya kecendrungan bahwa takkala diperingatkan (dikritik) agar bertanggung jawab, ia cendrung mengabaikan peringatan (kritik) tersebut sebab orang lain atau anggota masyarakat selain dia dirasakannya tidak dimintai pertanggunjawaban, padahal mereka telah ikut menikmati haknya tadi. Sedemikian jauh sifat pengabaian itu sehingga sering sampai pada titik “tidak ambil pusing”. Pada titik inilah masyarakat Jawa kelihatan kontradiktif, yakni, pada satu segi, selalu berusaha bersikap dan berlaku halus serta bertindak tidak terus terang, tetapi pada segi lain sering bersikap “tidak ambil pusing” (tebal muka) terhadap kritik yang langsung sekalipun serta bersikap “menolak” secara terus terang.

Dari kualitas kultural yang tergambar secara singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya hubungan-hubungan sosial merupakan basis dan sumber hubungan politik. Dalam hubungan sosial politik masyarakat Jawa bersifat sangat personal. Di samping itu, terdapat suatu kecendrungan yang amat kuat bahwa dalam masyarakat terdapat watak ketergantungan yang kuat pada atasan serta ketaatan yang berlebihan pada kekuasaan, sebab status yang dipandang sebagai kewibawaan politik dijunjung begitu tinggi. Semua kecendrungan sosio-kultural ini memperkental sistem patron-klien yang sangat canggih dalam masyarakat. Dengan sistem seperti ini, keputusan-keputusan dalam setiap aspek diambil untuk menjaga harmoni dalam masyarakat yang dipimpin para “orang bijak” tersebut, yang menurut banyak orang, disebabkan oleh warisan kultural masyarakat pemerintahan tani tradisional yang bersifat sentralistik (Muhaimin, Yahya; 53-58)

D. Telaah Kritis

Budaya Jawa yang relatif feodal, daripada demokratis berakibat pada feodalisme kekuasaan nasional, merupakan persoalan urgen yang kita hadapi dalam rangka mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Sebelum beranjak lebih jauh mengupas masalah ini, ada baiknya kita mesti memiliki pemahaman tentang indikator kehidupan politik yang demokratis. Bingham Powell, Jr memberikan kriteria tentang hal ini:

  1. Legitimasi pemerintahan didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Artinya, klaim pemerintah untuk patuh pada aturan hukum didasarkan pada penekanan bahwa apa yang dilakukannya merupakan kehendak rakyat.
  2. Pengaturan yang mengorganisasi perundingan untuk memperoleh legitimasi dilaksanakan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Pemimpin dipilih dengan interval yang teratur, dan pemilih dapat memilih di antara alternatif calon. Dalam prakteknya, paling terdapat dua partai politik yang mempunyai kesempatan untuk menang sehingga piihan tersebut benar-benar bermakna.
  3. Sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting.
  4. Penduduk memilih secara rahasia dan tanpa dipaksa.
  5. Masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers. Baik partai politik yang lama maupun yang baru dapat berusaha untuk memperoleh dukungan ( Gaffar, Afan; 153).

Melihat indikator ini, dapat dipahami bahwa demokrasi berkaitan erat dengan pertanggungjawaban, kompetisi, keterlibatan, dan tinggi-rendahnya kadar untuk menikmati hak-hak dasar.

Sekarang kita coba meneropong budaya Jawa terkait dengan indikator ini. Ketika demokrasi menawarkan konsep egalitarian dengan memandang orang lain sama tinggi/sejajar, maka inilah persoalan pertama bagi budaya politik Jawa untuk eksis. Kemudian masalah keterbukaan, kita melihat dualisme sikap budaya Jawa yang cendrung tertutup sangat tidak baik bagi perkembangan demokrasi. Kritik terhadap pemimpin yang dianggap sebagai hal yang tabu menjadikan kedinamisan perbedaan terkekang. Budaya Jawa yang mementingkan keharmonisan membuat warna dialektis cendrung terkekang, kerena perbedaan dinihari dieliminir untuk menjaga keutuhan kebersamaan.

E.Penutup

Sebagai penutup dari makalah ini, baiknya penulis menyampaikan bahwa tujuan penulisan makalah ini bukanlah ingin menjatuhkan, memandang rendah, mengolok-olok budaya Jawa dalam konteks pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. Namun, tujuan penulis hendak memaparkan tentang kecendrungan yang terjadi selama ini. Didukung dengan analisis-analisis para akademisi penulis mencoba untuk objektif mamaparkan masalah yang sensitif ini. Meskipun, budaya politik Jawa cendrung feodalistik, bukan berarti penulis mengatakan orang Jawa itu tidak demokratis. Negara kita didirikan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, dan sebagian besar perumusnya berasal dari Jawa. Telaah penulis lebih kepada kajian budaya, bukan spesifik kepada personal.
Akhirnya, penulis berharap makalah ini bermanfaat dalam proses pembelajaran pada perkuliahan ini.

F. Daftar Pustaka

  • Alfian dan Nazaruddin Syamsuddin (Ed), 1991. Profil Budaya Politik Indonesia. PT Temprint; Jakarta.
  • Najid, Muhammad dkk (Ed), 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. LKPSM; Yogyakarta.

21 tanggapan untuk “Dominasi Kebudayaan Jawa dalam Penerapan Politik Indonesia”

  1. Saya setuju dengan pendapat bapak. Lingkungan politik kita terlalu lama merasakan pengaruh Jawa di negeri yang multietnis ini. Pengaruh tersebut memberikan dampak yang kurang baik, mengingat bangsa kita adalah bangsa yang plural, multietnis suku dan budaya.
    Yang lebih tidak mengenakkan, terkadang pengaruh Jawa dalam politik tidak memberikan kebebasan dan tidak terbuka terhadap pendapat dan masukan di luar situasi budaya Jawa.
    Saya mengatakan bahwa budaya Jawa itu bersifat nasionalisme radikal, tidak praktis, feodalisme, dan cenderung Hinduisme.
    Sebenarnya isyarat ini sudah terasa sejak dahulu, dimana Moh. Hatta (putra Minangkabau) mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, dan memilih mundur daripada harus meneruskan perjuangan bersama Bung Karno (Sang Putra Jawa). Karena Bung Karno dinilai terlalu bersifat radikal dengan membawa efek negatif terbukti dengan partai PKI yang diboyongnya.
    Sebenarnya perpaduan antara moh hatta dan bung karno merupakan solusi yang tepat untuk perubahan karena menggabungkan pengaruh budaya Jawa dan non Jawa (yang lebih pragmatis, moderat, efektif dan lebih masuk akal).

    Terima Kasih

  2. budaya Indonesia itu sungguh sangat luhur khususnya budaya daerah jawa tengah secara gitu ku kan orang jawa asli. Semuanya penuh dengan ketertiban dan penuh filosofi. Tapi sayangnya hanya sedikit orang yang peduli dengan hal itu. Bahkan masyarakatnya sendiri kurang memperhatiokan budayanya justru oran-orang asing lah yang lebih memperhatikannya, betapa ironisnya hal ini….

  3. Kadang istilah Jawa-Non Jawa justru digembargemborkan sama para elit politik saja. Dugaan saya, masyarakat justru lebih akomodatif dan tidak menjadikan isu tersebut sebagai masalah besar di Indonesia.

  4. Sapa bilang dominasi jawa bukanlah masalah besar….Ingat Bunk itu adalah mslah yg sangat besar ketika kta mengakui keberagaman (suku) yg ada di indonesia (sengaja tdk mnggunakan kata nusantara) ini !
    Sama halnya dengan keistimewaan jogja,…yg jd pertanyaan apanya yg istimewa???? setiap daerha punya keistimewaan sendiri…brbicara mslh kontribusi pd saat masa kolonial…mana ada org jawa yg dtg mmbantu ke sulawesi misalnya??..psedangkan orang sulwaesi (bugis-makassar) jstru mmbantu mnumpas voc di tnh Jawa (jogja ) misalnya…bktinya..pasukan daeng dan bugis mash ada di keraton jogja…kahar muzakkar pun dlu kecewa dengan soekarno krn tdk dianggap ….pdhl beliau dan pasukannya lah yg sempat menduduki jogja selama beberapa jam melawan voc…dan soeharto yg hnya duduk2…jstru yg dihargai….” Jadilah suku yg bsa menghargai org bosss…!!!

    1. Daerah yang istimewa akan melahirkan tokoh-tokoh yang istimewa pula, coba anda hitung sendiri dan bandingan dengan daerah lain tokoh2 nasional yang terlahir dari kota Yogya (yang asli atau sekedar menuntut ilmu dan berjuang di kota ini) dan masih banyak keistimewaan yang lain, itu karena masyarakatnya, saya tidak keberatan ketika anda menyatakan dominasi jawa adalah masalah besar, namun saya keberatan saat anda mempertanyakan keistimewaan Yogya, kenyataan pasukan sulawesi ikut berjuang di yogya justru semakin memperjelas keistimewaan tempat ini, pantaslah jawa mendominasi, tentu anda setuju jika saya sebut suku jawa memiliki peradaban paling tinggi dalam sejarah Indonesia namun inilah tantangannya, bagaimana menjembatani semua perbedaan itu agar sama rata dalam berkontribusi di NKRI ini.

      1. spa tokoh2 besar yg asli jogja??????

        Tau ndk kalo Ki hadjar Dewantara itu,,keturunan Bugis-Makassar (keturunan dr Daeng Naba) yg berjuang di jogja bersama kerajaan mataram dlu…silahkan cari tau…

        Peradaban yg paling tinggi maksudnya…yg mananya????

      2. @parembai_banyak2 lah anda membaca..kalau nada bisa menafsirkan apa itu “peradaban tinggi” , barulah anda mengerti seperti apa itu peradaban tinggi

    2. Saya rasa komentar anda ini cenderung subjektif, mungkin karena sentimen anda terhadap orang jawa yang trllu bnyk diistimewakan,dlm hal ini mksd saya orang jawa sering mendapat porsi2 penting dlm bbrp kedudukan dan jabatan.Saya sbnrny stuju dg makalah ini awalnya,krn sgt objektif..tp melihat komentar anda,terasa sekali hawa sentiman anda terhadap kami(jawa).Kalau anda mau membaca bnyk literatur, ada beberapa hal mengapa suku jawa menjadi istimewa :
      1.Ciri khas kebudayaan yg kental dr seluruh aspek,entah itu spiritualitas,seni,bahasa,ketradisional’annya,dan kesustraannya yg cakupannya ckup luas.
      2.Dr sejarah,nusantara bahkan hingga diluar nusantara pernah dikuasai Majapahit,kerajaan superior dibawah tangan Gajah Mada
      3.Kuantitas.hampir separuh penduduk Indonesia orang jawa,bayangkan,sisa dr penduduk Indonesia dibagi ke dlm ratusan suku lain.
      4.Jogja adalah satu2nya kota yang masih memegang teguh budaya leluhurnya dibanding kota2 lain..contoh??jakarta,bandung,surabaya sudah terseret ke dlm arus westernisasi,
      Kami menghargai suku lain,namun memang terkadang,kami justru malah dibenci suku lain karena dominasi kami di hampir segala bidang..Ini hanya masalah sejarah, dan jumlah..Anda lah yg seharusnya objektif…

    3. Pikir bung,,,,!!!!
      Ini semua bagian dari konspirasi yahudi,,,
      Orang jawa di kambing hitamkan karna memang populasi dan peradaban nya lebih besar,,,,dengan cara kecemburuan sosial,,

  5. Ping-balik: Digital generation
  6. waduh Bung kalau kita ambil filosofinya dari barat tentang demokrasi pasti tidak semua bisa diaplikasikan di Indonesia, cause saya pernah baca tentang demokrasi menurut cliffort gertzs ‘demokrasi bisa terlaksana itu mungkin tapi itu hanyalah mitos yang diidam-idamkan’. yang lucu kenapa kita menganut sistem demokrasi barat??? tulisan yang ditulis Yahya Muhaimin dalam tulisannya “Persoalan Budaya Politik Indonesia” dan diamini Aristides Katoppo (Budayawan dari Minahasa Sulawesi Utara) memang ada benarnya tapi juga ada salahnya, cause bentuk-bentuk dominasi Budaya Jawa dalam budaya dan pelaksanaan politik di Indonesia belum tentu semua sama menerapkan budaya Jawa / disamakan dengan budaya politik Jawa. permsalahan negara kita heterogen dan plural sebenarnya tidak perlu dipermsalahkan apabila ketika ada suatu suku (misal suku Jawa) melalui budayanya mendominasi sistem politik di negara kita, cause apabila itu masih relevan why not! sebab filosofi plural/ heterogen agaknya perlu dilihat tidak hanya dari satu kacamata saja perlu dikaji lebih mendalam. kita ambil pandangan positifnya sajalah…padahal pandangan positif maupun negatif itu tergantung pemahaman dan cakupan wawasan si penerima pandangan itu sendiri.

  7. saya mungkin punya pendapat lain yang tentunya ini bukan pembelaan diri dari masyarakat jawa; Bahwa politik jawa itu adalah politik yang adiluhung mempunyai filosofi yang sarat dengan makna-makna yang didalamnya mengandung demokrasi serta budaya yang universal yang sampai sekarang masih relevan digunakan dalam ilmu politik dan kebudayaan, hanya saja ilmu politik jawa diambil alih oleh bangsa asing kemudian menjadi sumber buku-buku seolah-olah ilmu demokrasi dari sana; dan diterapkan , dibaca oleh cendikiawan ( Dosen yang DR maupunProf ) ternyata dalam memaknainya agak sedikit keliru/melenjeng. Contoh sederhana saja, bagaimana para Sunan mendakwahkan agama Islam dengan ilmu politik jawa yang tinggi serta menjujung tinggi demokrasi. Contoh saja; yang sekarang masih dikenang tentang ilmu falsafah dan demokrasi yang tinggi : lir-ilir tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak senguk temanten anyar, cah anggon cah angon penekno bliwing kuwi, lunyu-lunyu penekno, kanggo basuh dodut iro dst. ( cari artinya sendiri sama cendikiawan jawa yang masih menjunjung tingggi budaya jawa yang adilhung) Matur nuwun atas tulisannya.

  8. Jawa identik santun dari luar, tapi dari dalam hatinya.. ntar tunggu ane serang ente dari belakang. non jawa keliatan lebih blak-blakan artinya apa adanya, orang jawa diam2 menilai. tdk dipungkiri orang jawa sudah banyak menyebar di seluruh negri ini, dan memperbanyak keturunan. mereka keliatan bertengkar.. tapi pasti pemilihan mereka tetap satu. maaf..! sejak dulu saya tidak suka cara orang jawa menjajah daerah diluar pulau jawa.

  9. apakah bila org jawa bukanlah yg dominan maka hal tsb (permasalahan kesenjangan antar suku dll) tdk akan tjadi ?? contoh org kalimantan yg mendominasi negeri ini,mgkinkah suku2 yg lain akan adem ayem saja? pastilah ada dr suku lain yg msh mrasa blm puas akan keadilan yg dtrimanya,ingat negeri ini trdiri dr bnyk suku2 yg memang mjd prmasalahan,mengapa voc dgn mudah menjajah bhkan smpai 3,5 abad, itu karena indonesia mdah skali dipecah belah bukan hnya diadu domba antar suku bahkan sesama sukupun mdah skali pecah perang, mari sama2 kita menuju bhinneka tunggal ika,persetan dgn apapun latar blkg kita!!

Tinggalkan komentar